BAB I WANITA
Hinanya Menjadi Jomblo
Agus berada di dalam sebuah hutan. Perkara kenapa dia membawa buku kuliah di tangan dan berada di tengah hutan, dia juga tidak mengerti. Pria yang selalu selalu salah tingkah itu mendengar derasnya aliran sungai. Dia memutuskan untuk mengikuti suara itu. Sesampainya di pinggir sungai, dia melihat seorang wanita cantik sedang mencuci baju. Wanita itu hanya dibalut kain batik cokelat. Selama hidupnya, setiap kali dia pergi ke sungai, dia hanya menemukan anak-anak bermain air, dikencingi bocah dari atas jembatan, atau paling parah melihat nenek-nenek mandi. Wanita cantik cuci baju ? Hanya urban legend! Tapi hari ini, urban legend itu nyata. Agus mengerti yang dia harus lakukan. Dia segera mendekat kepada wanita itu.
Sang wanita menatap Agus sambil menyeka rambut yang basah.
"Hapunteun, sayah Agus. Sayah mahasiswa Teknik Sipil UNB sedang meninjau lokasi untuk membuat jembatan. Boleh minta bantuan Ceceu sebentar?"
"Oh, bikin jembatan? Jembatan dari mana ke mana?"
"Dari hati saya ke hati Ceceu."
"Ah, kamu, bisa ajah. Sini duduk deket sayah."
Agus biasanya tidak pernah sampai ke tahap berbicara dengan wanita, apalagi duduk di samping mereka. Agus ragu untuk duduk di sampingnya.
"Agus punya korek?"
"He?"
"Korek?"
"???" Agus mulai tergagap karena selain wanita itu berbicara di luar konteks, dia juga mulai berbicara dengan nada yang memiliki jakun berat.
Dia terbangun, mendapati dirinya di kursi penumpang depan mobil Doni. Temannya itu meminta korek.
Agus, Doni, Bimo, dan Olip adalah empat mahasiswa tingkat 3 jurusan Teknik Sipil Universitas Negeri Bandung (UNB) yang sedang ada perlu ke Universitas Negeri Jatinangor (UNJAT), sebuah kampus yang terletak di pinggir Kota Bandung. Mereka menemani Bimo membeli ganja ke pengedar terkenal se-Bandung yang kuliah di jurusan FISIP UNJAT sekaligus cuci mata dan jual pesona kepada anak-anak kampus seberang kota ini. Hal ini tidak dapat mereka lakukan di kampus mereka sendiri karena mayoritas mahasiswa di UNB adalah pria.
Mereka sampai di kampus UNJAT. Doni memarkir mobilnya di areal parkir FISIP. Keempat anak itu turun dan menuju kantin. Agus memperhatikan mahasiswa-mahasiswa yang sedang bermain basket dari kejauhan. Dalam otaknya, dia berusaha membuat perbandingan antara mahasiswa UNJAT dan UNB.
Mahasiswa UNJAT. Wanitanya cantik-cantik, modis dan terlebih lagi, intelek dan pintar. Banyak mahasiswi UNJAT yang berprofesi sampingan sebagai model. Pria-pria terlihat gagah, tampan, dan wangi. Berotot perut seperti martabak yang membuat Agus merasakan pilunya iri ketika membandingkan mereka dengan dirinya yang berbentuk ikan asin. Mereka gagah seperti yang sering dia lihat di poster iklan parfum maskulin atau celana dalam pria.
Mahasiswa UNB. Bau Naga.
Pikirannya kembali ke celana dalam pria dan dia gagal menemukan korelasi mengapa sebuah iklan celana dalam harus memasangkan pria berparas tampan. Tidak berkoneksi, kecuali jika celana itu dipasangkan di muka dan meski sekonyol itu, tetap akan menimbulkan efek minder dan rasa bahwa dunia ini tidak adil kepada orang-orang bertampang minus sepertinya.
"Ngelamun jorok lu,ya?" Doni mendorong Agus yang akan duduk di kantin.
"Nggak."
Sesaat mereka terdiam geli. Mereka mendapati beberapa kelompok mahasiswa yang mereka kenal sebagai mahasiswa UNB. Ada prinsip mendasar yang semua mahasiswa UNB pegang teguh secara kompak. Jangan pernah membuka identitas seorang teman, jika bertemu di kampus orang lain.
"Itu anak jurusan Tambang UNB. Sebelah sana, segerombolan anak-anak Geodesi UNB. Barusan gua liat ada anak Mesin UNB lewatin kita... solo karier," tunjuk Doni dengan geli.
"Kok ngeceng bisa sampe bedol desa geneh...," kata Doni. Mereka semua saling lirik dengan pria-pria penyusup dan saling tersenyum tahu-sama-tahu. Getir dan pahit mengudara bersilang di antara mengangkatnya alis mata dan dagu saling menyapa. Hal yang paling memalukan di dunia ini adalah terekspos menjadi jomblo dan jual pesona di kampus orang lain.
"Kalian tunggu saja di sini ya. Aku ta' cari temenku yang itu. Kalo sudah dapet itunya, aku mbalik lagi," kata Bimo, anak seorang ilmuwan nuklir dari Jogjakarta . "Oh ya... rambutku gimana? Bagus?" Makhluk hitam bertampang kriminal itu berbalik dan bertanya sambil mengais-ais rambut keriting gagalnya. Anak-anak mengacungkan jempol penuh kebohongan dengan tatapan penuh hina. Bimo berlalu.
"Seperti biasa jika Bimo tertangkap, kita gak kenal dia, okeh?" Agus mengonfirmasi prosedur standar menemani Bimo beli ganja.
"Oke."
"Mengapa Bimo setia dengan pengedar ganja yang ini?" tanya Olip.
"Dia punya cukup stok buat membuat orang 3 kabupaten teler."
Mata Agus dan Doni pergi ke kiri dan kanan menikmati mahasiswi-mahasiswi yang terlihat pintar dan cantik. Pemandangan yang kontras dengan kampus UNB dimana siswanya pintar dan berjanggut. Doni men-spot seorang wanita.
"Gus,jam 3 elu,cantik!"
"Cantik sih, tapi itu adalah tipe kecantikan yang memiliki tendensi yang jika ditinggalkan seorang pacar, berubah menjadi psikopat dan mengoleksi ginjal dari sejumlah korban," ujar Agus dengan penuh asumsi. Agus Gurniwa, pemuda kurus ceking, anak terkutuk jomblo dari Jakarta yang mengidap penyakit kurang percaya diri dan mudah salah tingkah. Dia tinggal bersama sepupunya, seorang pengusaha roti. Di waktu luangnya sendiri Agus mencoba mengikis penyakit minder tersebut dengan menjadi penyiar radio Arjay, sebuah stastiun radio anak muda.
"Sialan, gua udah lama gak ketemu cewek yang satu alam sama gua," ujar Doni sambil memain-mainkan teh botolnya.
"Hmm." Agus menampik topik itu dengan antusiasme rendah dan kata -Hmm- yang sering dikeluarkan orang yang baru saja menduduki kacamatanya sering.
"Jangan kau coba-coba ajak tidur wanita di kampus ini ya. Kita bisa laa dicabik-cabik singa." Olip yang tadinya terdiam, menunjuk ke Doni. Olfiyan Iskandar adalah seorang pemuda asal Langas-Aceh. Didikan alam di kampung halaman telah membuahkan hasil postur tubuh yang tinggi, tegap dan memiliki otot perut yang lelaki.. Orang akan berpikiran dua kali sebelum mengundang masalah dengannya,
"Nggak kok Lip. Santai aja. Kita ke sini kan buat cuci mata dan nemenin Bimo,"
Bersambung...
Tidak ada komentar :
Posting Komentar